Tuesday 17 January 2017

Ke Kakorotan Aku Ikut


Tulisan ini pernah dimuat di sini

Khoirunnisak, fasilitator Pulau-Pulau Kecil Terluar Kementerian Kelautan dan Perikanan nampaknya menemukan keceriaan dan kebahagiaan sebagai fasilitator masyarakat di salah satu pulau terluar di Sulawesi Utara. Mari simak cerita pengalamannya selama di sana, yang dituliskannya dengan nada optimis. Juga menggelitik. Yuuuk. 
***
 
Hai semua, saya Nisak, lengkapnya Khoirunnisak. Saya ingin bercerita tentang kehidupan di Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia. Tahu kan ya, kalau Indonesia memiliki setidaknya 92 pulau kecil yang menjadi batas terluar wilayahnya? Di antara pulau-pulau kecil tersebut ada 32 pulau yang berpenduduk, lainnya tidak. Kosong, hanya ada vegetasi dan hamparan pasir putih. Di masa pemerintahan sekarang, pulau terluar berpenduduk tersebut boleh berbangga, sebab pemerintah telah menyatakan janjinya untuk membangun republik ini dari pinggiran, dari pulau-pulau itu.
Berbagai kementerian,membuktikannya dengan mengirimkan muda-mudi negeri ini untuk mengabdi di batas teluar dan pedalaman NKRI. Ada Sarjana Mengajar di Daerah 3T (SM3T) dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, ada Nusantara Sehat (NS) dari Kementerian Kesehatan, ada pula Fasilitator Masyarakat Pulau-pulau Kecil Terluar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dan ada juga Patriot Energi dari Kementrian ESDM.
Sebagai alumni program studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB 2011, saya beruntung, tiga bulan lalu dipinang (cieleh dipinang), dipinang oleh  Kementerian Kelautan dan Perikanan serta LSM Destructive Fishing Watch (DFW) untuk 9 bulan hidup bersama masyarakat di sebuah pulau kecil bernama Kakorotan.
Kakorotan?
Kakorotan, pernah dengar nama Kakorotan? Pulau Kakorotan terletak di Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Untuk sampai di pulau kecil ini, terlebih dahulu kita harus singgah ke Melonguane, Ibukota Kabupaten Kepulauan Talaud. Kita bisa mencapainya dengan naik pesawat reguler dari Manado yang terbang setiap hari, atau kapal Manado-Melonguane yang jadwalnya tiga kali seminggu. Ingat ya, dengan naik pesawat atau kapal laut, jangan paksakan berenang. Jauh!
O iya, selanjutnya untuk mencapai Kakorotan kita bisa naik speedboat ke pelabuhan Lirung, lalu naik kapal perintis Sabuk Nusantara 51 yang berlayar 2 minggu sekali. Sampai di Kakorotan kita akan disambut dermaga yang sangat panjang. Panjang sekali.

Foto Pulau Intata dan dermaga Kakorotan dari atas

Desa Kakorotan sendiri sebenarnya meliputi 3 pulau. Pulau Kakorotan, Pulau Malo dan Pulau Intata. Di antara
ketiga pulau tersebut hanya Pulau Kakorotan yang berpenduduk, lainnya tidak. Mungkin nanti, ketika jumlah penduduk Kakorotan semakin padat dan lahan tak lagi tersedia, Intata dan Malo bisa menjadi solusi. Ah tapi entahlah.
Ketiga pulau tersebut memiliki keunikan masing-masing. Pulau Kakorotan dengan datarannya yang agak berbukit 25 persen lahannya digunakan untuk permukiman, sisanya ladang sedang Pulau Malo dan Intata dimanfaatkan masyarakat sebagai lahan perkebunan dan beberapa tempat di Intata dijadikan sebagai tempat pelestarian warisan budaya.
Tugu sejarah singkat Desa Kakorotan

Menurut hikayat, kehidupan masyarakat adat Kakorotan sudah ada semenjak dahulu kala pada abad ke 13. Kemudian pada tahun 1628 terjadi tsunami yang membelah Kakorotan menjadi 3 pulau hingga saat ini. Setelah itu masyarakat yang masih bertahan, kemudian berusaha bangkit dan melanjutkan hidup. Mereka menyadari bahwa untuk bertahan hidup, mereka tidak hanya sekadar hidup untuk diri mereka saat itu. Agar anak cucunya juga bisa melanjutkan hidup, mereka harus hidup selaras dengan alam. Wah manisnya.
Oleh karena itu, mereka bersepakat untuk membuat Eha yaitu pengaturan masa tanam tanaman di darat serta Mane’e, panen laut dengan menggunakan sammi, alat tangkap berupa janur dan tali hutan yang ramah lingkungan. Masyarakat di Lombok, Nusa Tenggara hingga Papua menyebutnya Sasi, dan buka Sasi. Sasi lo ya, bukan Sasa apalagi Susi.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti saat menghadiri Festival Mane’e tahun 2015 lalu

Bagi saya yang datang dari Pulau Jawa yang sesak dari tahun ke tahun, Kakorotan adalah desa yang amat kaya. Tutupan karangnya masih alami dan padat, hamparan pasir putih, beragam peninggalan bersejarah yang masih tersimpan rapi di tempatnya. Semua terbungkus rapi dalam kelembagaan adat yang menaunginya. 
Sebagai contoh, Kakorotan terkenal dengan ikan demersalnya yang sangat melimpah karena masih banyak karang hidup di ketiga pulaunya. Kelembagaan adat melarang segala alat tangkap yang dapat merusak lingkungan. Demikian pula dengan nelayan dari daerah lain yang ingin menangkap ikan di sini, mereka harus izin terlebih dahulu kepada Ratumbanua, beliau adalah mangkubumi Kakorotan. 
Kelembagaan adat mengatur hampir segala aspek kehidupan masyarakat mulai dari kepemilikan lahan secara komunal suku hingga berbagai aturan dalam kehidupan sehari-hari. Kelembagaan adat ini bersinergi dengan kelembagaan gereja dan pemerintah daerah untuk mensejahterakan masyarakat. Intinya, sumberdaya alam Kakorotan yang besar itu diikat oleh aturan yang ditentukan oleh masyarakatnya sendiri. Indah ya?
Pembaca yang keren, jangan terlena dulu dengan romantisme desa dan pulau di masa lalu yang selalu diceritakan damai, aman, nyaman, tenang dan sejahtera. Kakorotanpun dari tahun ke tahun menyimpan pula banyak permasalahan di dalamnya. Tepatnya tantangan dan cobaan. 
Hampir sama seperti pulau kecil yang lain, permasalahan yang melingkupi pulau ini di antaranya akses transportasi yang terbatas, ketersediaan air bersih, listrik, abrasi pantai serta telekomunikasi. Permasalahan tersebut berimbas pada mahalnya bahan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari. Sebagai contoh, harga satu bungkus mie instan di pulau ini bisa mencapai 5.000 ribu rupiah, dua kali lipat harga biasanya. Permasalahan telekomunikasipun juga hampir sama. Saat tower rusak seperti yang terjadi pada bulan Mei sampai pertengahan Juni lalu, masyarakat patut bersyukur jika masih bisa menemukan signal dari pulau besar yang kebetulan tersesat di ujung Pulau Malo. Masyarakat, termasuk saya juga tentunya.






Mencari sinyal di ujung Pulau Malo 

Penarikan tali sammi oleh masyarakat saat Mane’e

Begitulah, tinggal bersama masyarakat pulau dengan berbagai potensi, permasalahan, dan perbedaan keyakinan tentu saja menjadi hal yang sangat menantang dan pengalaman yang begitu berharga. Itu pula yang menjadi motif utama ketika memutuskan untuk mengambil bagian menjadi fasilitator di Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) tahun ini bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Bagi saya, menjadi fasilitator masyarakat berarti menjadi mata, telinga, dan mungkin perpanjangan tangan manusia modern yang belum mampu menjangkau perbatasan. Yang belum merasakan bagaimana menghadapi tantangan hidup di pulau-pulau kecil terluar. Bagi saya, menjadi fasilitator masyarakat di perbatasan artinya membantu masyarakat untuk tidak menjadi terbatas. Membantu mereka untuk secara perlahan mencari tahu potensi yang mungkin saja belum sempat disadari keberadaannya saat ini. Atau paling tidak menjadi bagian dari mereka dalam memandang realita hidup, menemukan sudut pandang baru dalam berfikir dan meramu sesuatu.
Ke Kakorotan aku ikut, menjadi bagian dari darinya, menjadi bagian dari kehidupan di perbatasan bukan berarti terbatas dan harus merengek bukan?
Oleh karena itu mari tersenyum, jaga bara api merah putih tetap menyala di sini, kita ke Karototan membangun Negeri!

Gambar yang di lukis SM3T tahun 2015 lalu

No comments:

Post a Comment

Alhamdulillah akhirnya inget password blog, semoga azzam buat nulis rutin di blog bukan hoax!