Perbincangan Jum’at
pagi, dua belas minggu yang lalu mengingatkanku pada sebuah masa saat aku masih
kecil, dan mungkin karena aku menyukai kisah, ingatan itu masih melekat hingga
sekarang.
Ini tentang sebuah
kisah yang terdengar dari walkman yang sedang ngetrend dimasanya. Aku ingat
betul bagaimana perjuanganku untuk sampai bisa mendapatkannya. Tapi cerita ini
lebih dari sekedar perjuanganku mendapatkan walkman
itu. Suatu saat aku mendengar ceramah seorang ustadz yang berkisah di sebuah
stasiun radio.
Ini tentang kisah
perjuangan, perjuangan sebenar-benarnya seorang pejuang. Analogi sederhana,
namun dapat diterima oleh anak SMP seusiaku dulu.
Perjuangan itu
adalah perjuangan lomba lari. Bukan sekedar lomba lari memang, tapi ini
perjuangan kehidupan. Dalam sebuah lomba lari, pasti setiap orang ingin
mencapai finish. Bagaimanapun juga, finish adalah harga mati yang harus
dicapainya. Juara berapapun ia.
Sama seperti
manusia. Ketika lahir, seorang anak manusia diciptakan sama. Ibaratnya, ia
adalah kandidat peserta lomba lari yang sangat berkesempatan untuk bisa sampai
digaris finish. Ia masih lemah, belum bisa melakukan apapun selain menangis.
Tuhan memberinya bekal jasad, akal dan hati. Selanjutnya orang tua dan
lingkungannyalah yang akan membetuknya menjadi manusia seperti apa,
membentuknya akan tiba di garis finish atau tidaknya? Satu keuntungan bagi ia
yang dilahirkan dari rahim seorang muslim. Karena jika ia menjadi muslim, itu
artinya ia telah mempunyai tiket untuk mengikuti perlombaan lari, begitu pula
sebaliknya.
Perlombaan dimulai.
Memang tidak semuanya serempak, peserta memulai lomba mengikuti masanya
masing-masing. Ah iya, bedanya disini cepat lambat bukanlah hal utama, yang
paling penting adalah sampai finish. Dan iapun memulai lombanya masing-masing.
Awalnya secepat kilat ia berlari, ingin mengejar kawan lain yang ada di depan
sana. Tak peduli sekeras apa jalan itu, tak peduli selancip apa kerikil yang
menyertainya, ia tetap semangat, tak ingin menyisakan sedikitpun waktunya untuk
berleha-leha.
Beberapa saat
kemudia ia mulai lelah. Kelelahannyapun diuji dengan semakin berkeloknya
kelokan, semakin bercabangnya jalan. Ia mulai gamang. Samapai akhirnya ia
memutuskan untuk mencari orang yang bisa ia jadikan teman untuk berjalan
bersama, saling membantu dengan harapan dapat mencapai garis finish nantinya.
Perjalananpun dilanjutkan, ia yang dulu tak mempunyai kawan, kini tidak
sendirian. Ada si dia yang menemaninya, yang menyemangati dan ia semangati.
Jalan semakin
terjal. Mereka semakin mengencangkan ikatan. Lama berselang kemudian mereka
dapati satu-persatu orang di samping kanan kirinya berjatuhan, tak cukup bekal
atau tidak menggunakan bekalnya dengan benar barangkali.
Tapi masih banyak
juga yang bersemangat. Tak jarang ia disalip dari kanan kiri. Anehnya setiap
orang yang menyalip itu selalu menyunggingkan senyum menyemangati. Mereka makin
bersemangat. Keringat makin mengucur deras, jalan makin parah, tak hanya berkelok
dan terjal, tapi juga berlubang. Berita baiknya mereka tak kahabisan bekal dan
akal, mereka memanfaatkan bekal awal dari Tuhan tadi dengan sebaik-baiknya.
Sampai akhirnya ia mencapai finish. Betapa gembiranya hati mereka. Namun
ternyata ada pula orang-orang yang tidak mempunyai tiket, bukan peserta lomba
lari, tapi ternyata ikut lari. Mereka tak dapat mencapai finish, belum melewati
garisnya, mereka sudah disuruh berhenti oleh petugas di sana. Disuruh keluar
dari area permainan karena ia bukan pemain. Sayang.
Itulah manusia,
dengan perjalanannya yang panjang. Mempunyai satu tujuan bersama. Meskipun
dalam satu kompetisi, tak menyikut kiri kanan tapi malah memberi senyuman,
indah bukan?
Itu pula bedanya
muslim dengan yang belum muslim. Kita sama-sama berlari, sama-sama memberikan
kebaikan. Namun mempunyai beda akhir, antara yang menjadi pemain dan hanya ikut
bermain.
Bogor, 20131130