Sunday 21 December 2014

Kampus Sudah Tidak Aman Lagi!!



Entahlah tidak seperti biasanya akhir-akhir ini banyak sekali kejadian pencurian, penjambertan dan lain-lain di area kampus dan sekitarnya. Komunikasi yang makin canggih membuat info menyebar cepat. Bisa agak dimaklumi jika kejadian ini terjadi pada bulan puasa mendekati lebaran, maklum kebutuhan makin banyak harga makin meningkat. Eh sekarang ga bulan puasa, ga deket-deket lebaran hape tak henti-hentinya ngabarin kejadian-kejadian serem yang membuat diri harus mikir dua kali kalo mau keluar sendiri. Ga selebay itu juga sih, tapi abis tadi ada kejadian pembacokan di pangkot entah karena masalah apa itu, ada yang bilang masalah angkot, futsal sampe pemilihan lurah. Jadi ngerasa ngga aman mau bawa barang-barang berharga keluar. Nyewa motor harus dijaga bener-bener. Meleng dikit barang ilang. Pernah dulu pas baru dikasih hape sama kakak, eh ilangnya di kamar kostan, setelah diusut kayanya ibu-ibu tukang pijit yang bawa.
Salah satu hal yang bikin ngga aman kampus adalah aksesnya yang bebas banget buat orang luar. Ga jarang para pencuri itu nyamar jadi tukang ojeg ato mahasiswa S2, persis mirip banget. Risih juga kadang dengan open acces kampus yang mempersilahkan siapapun masuk. Males juga kadang liat anak-anak SMP pada pacaran di taman. Dulu pernah mikir pas banyak berita itu, gimana kalo kampus ngebatesin aksesnya. Jadi ngga semua orang boleh masuk kampus. Gileee...anak kpm mikir kaya gitu?? Haha apa iya?
Jadi keinget bacaan-bacaan matkul yang banyak ngomongin masalah konflik. Kebanyakan konflik eksternal diakibatin sama adanya pendatang yang (dianggap) semena-mena. Entah semena-menanya karena hidupnya lebih makmur karena lebih kerja keras, kaya kejadian di Kalimantan Suku Dayak vs Madura. Ato karena pendatang yang nutup akses masyarakat sekitar sama sumber dayanya misal perusahaan sawit yang buka lahan hutan yang ngelarang masyarakat buat akses ke situ lagi. Atau tentang penetapan kawasan konservasi yang nutup akses masyarakat buat ngambil sesuatu atau lewat sekalipun. Dan..karena ilmu itu tidak bebas nilai maka kami selalu diajari untuk berpikir dari sudut pandang orang tertindas, masyarakat sekitar yang aksesnya pada alam dihilangkan.
Nah, sekarang dibalik. Kenyataannya diriku, mahasiswa lain dan IPB bertindak sebagai pendatang. Dan bisa jadi segala konflik (pencurian dll) yang terjadi karena masyarakat sekitar yang merasa dengan adanya kampus, hal tersebut tidak menjadikan mereka sejahtera; atau malah karena sopan santun kami yang kurang dijaga. Intinya kita ternyata turun ikut andil dalam berbagai perbuatan-perbuatan kriminal tadi. Astaghfirullah. Jadi inget kata Bu Ugi yang diwanti-wanti sama suami (atau Ibunya beliau gitu lupa) buat ngasih pekerjaan ke masyarakat sekitar karena kita udah ngambil wilayah mereka. Lha emang apa urusan kita? Lha wong udah bayar SPP sama uang kostan?
Ini sama ceritanya kaya masyarakat adat yang tinggal disebuah wilayah, anggaplah sebuah desa dan hutan tempat mereka nyari kayu bakar, air, madu, intinya nyari makan lah ya.  Trus tetiba pemerintah ngasih HGU ke perusahaan buat bikin perkebunan kelapa sawit ke daerah itu. kemudian akses masyarakat adat itu yang biasa ke hutan dicegat. Mereka ga boleh lagi masuk hutan. Ga bisa nyari makan, ga bisa nyari kayu bakar. Jangankan makan, sungai yang ada disebelah hutanpun jadi tercemar, ikan yang dulunya banyak di sana jadi pada mati karena tercemar sama pupuk. Air tanahpun juga sulit, hutan yang dulunya nampung air tanah trus nyalurin ke mana-mana sekarang malah gantian nyerep air dari mana-mana. Nah loh bedanya apa?


gambar 1 
gambar 2

Hegemoni yang Bijaksana??



Seorang bijak pernah bertanya kepada muridnya untuk apa mereka bersekolah. Dari jawaban klise ingin menuntut ilmu, hingga jawaban paling realistis ingin mencari pekerjaan untuk mendapatkan uang muncul satu-persatu. Akhirnya beliau mengatakan tak lain dan tidak bukan tujuan pendidikan itu adalah untuk mencari sebuah kebijaksanaan. Mencari sebuah kebijaksanaan yang didapatkan dari jutaan kepala yang kau temui tiap harinya. Agar nantinya kamu bisa memandang hidup ini dengan lebih bijaksana.
Lalu kemudian aku bertanya-tanya tentang hidupku. Tentang dua puluh tahun ini kebijaksanaan apa yang telah ku punya, kearifan apa yang kudapatkan. Tentang ilmu dan apapun di dunia ini, tentang apa yang sudah kulakukan dengan ilmu itu.
Sore itu kami kembali membuka diskusi dengan topik yang sedang menarik di kampus ini, “hegemoni”. Kata dahsyat yang bisa menggambarkan bagaimana kekuasaan itu terus-menerus diupayakan agar tercipta kondisi stagnan. Bukan suatu upaya penciptaan kesadaran kritis agar terjadi pembebasan.
Dengan berbagai ilmu yang kudapat, nilai yang kumiliki, mengajarkanku untuk berpikir dari dua sisi. Tidak hanya menjustifikasi hagemoni sebagai suatu rezim kuasa yang harus didobrak dan dihancurkan, namun juga melihatnya sebagai suatu tata kelola yang diatur sedemikian rupa agar kehidupan ini tetap harmoni. Bisa membayangkan dunia ini tanpa aturan?
Hegemoni harus didobrak dengan kesadaran kritis yang menghasilkan pembebasan kaum tertindas, jika ternyata hegemoni itu dipandang sebagai suatu yang buruk seperti yang terjadi dalam pendidikan kaum tertindasnya Paulo Freire. Namun tidak lantas ketika diriku sadar bahwa sholat berjamaah itu merupakan sebentuk hegemoni imam kepada makmum untuk mengikuti gerakannya, tidak kemudian ketika menjadi makmum lalu rukuk dan sujudku mendahuluinya. Mengapa? Karena lantaran aku memiliki ilmu, aku memiliki nilai yang mengharuskanku untuk tidak mendahului gerakannya, untuk tetap tunduk mengikuti gerakannya hingga usai sholatku dan tentu saja meluruskan jika sang imam lupa, itupun dengan cara yang semestinya.

Atau ketika aku sadar bahwa seperangkat aturan dalam kampus ini merupakan sebuah hegemoni kampus kepada mahasiswanya, tidak lantas membuatku datang ke kampus dengan menggunakan celana pendek dan kaus oblong atau tidak masuk kuliah sama sekali sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap hegemoni kampus kepada mahasiswanya, atau mungkin menyalahkan pihak kampus yang melanggar hak asasi mahasiswanya untuk berbusana, karena itu akan menghancurkan diriku sendiri. Aku memiliki cara yang lebih elegan ketika tidak suka dikekang untuk selalu berangkat kuliah, dengan memanfaatkan jatah tidak masuk 20% mungkin. Mengapa? Karena nilaiku mengatakan segala aturan itu baik. Mengapa? Karena penilaian itu pasti tidak keluar dari siapa dan mendapatkan apa. Karena diriku sadar bahwa aku dan kawan-kawan yang lain mendapatkan kebermanfaatan yang jauh lebih banyak dari pada kerugian dari aturan itu.
Teringat sebuah ungkapan indah yang kudapat sore itu dari seorang bijak lain dari seorang guru, “Jika ilmu itu sudah kau miliki, kemudian kepada siapa ilmu itu akan diabdikan?”. Yap, ketika ilmu itu sudah terkumpul, nilai itu sudah ada, lalu kepada siapa ilmu itu akan diabdikan?
Itulah mungkin yang disebut ilmu itu tidak bebas nilai, karena pada akhirnya ilmu itu akan membentuk nilai yang mampu menuntunku untuk memandang baik buruknya sesuatu, untuk memandang hidup ini dengan lebih bijak lagi.


gambar

Alhamdulillah akhirnya inget password blog, semoga azzam buat nulis rutin di blog bukan hoax!