Sunday 21 December 2014

Hegemoni yang Bijaksana??



Seorang bijak pernah bertanya kepada muridnya untuk apa mereka bersekolah. Dari jawaban klise ingin menuntut ilmu, hingga jawaban paling realistis ingin mencari pekerjaan untuk mendapatkan uang muncul satu-persatu. Akhirnya beliau mengatakan tak lain dan tidak bukan tujuan pendidikan itu adalah untuk mencari sebuah kebijaksanaan. Mencari sebuah kebijaksanaan yang didapatkan dari jutaan kepala yang kau temui tiap harinya. Agar nantinya kamu bisa memandang hidup ini dengan lebih bijaksana.
Lalu kemudian aku bertanya-tanya tentang hidupku. Tentang dua puluh tahun ini kebijaksanaan apa yang telah ku punya, kearifan apa yang kudapatkan. Tentang ilmu dan apapun di dunia ini, tentang apa yang sudah kulakukan dengan ilmu itu.
Sore itu kami kembali membuka diskusi dengan topik yang sedang menarik di kampus ini, “hegemoni”. Kata dahsyat yang bisa menggambarkan bagaimana kekuasaan itu terus-menerus diupayakan agar tercipta kondisi stagnan. Bukan suatu upaya penciptaan kesadaran kritis agar terjadi pembebasan.
Dengan berbagai ilmu yang kudapat, nilai yang kumiliki, mengajarkanku untuk berpikir dari dua sisi. Tidak hanya menjustifikasi hagemoni sebagai suatu rezim kuasa yang harus didobrak dan dihancurkan, namun juga melihatnya sebagai suatu tata kelola yang diatur sedemikian rupa agar kehidupan ini tetap harmoni. Bisa membayangkan dunia ini tanpa aturan?
Hegemoni harus didobrak dengan kesadaran kritis yang menghasilkan pembebasan kaum tertindas, jika ternyata hegemoni itu dipandang sebagai suatu yang buruk seperti yang terjadi dalam pendidikan kaum tertindasnya Paulo Freire. Namun tidak lantas ketika diriku sadar bahwa sholat berjamaah itu merupakan sebentuk hegemoni imam kepada makmum untuk mengikuti gerakannya, tidak kemudian ketika menjadi makmum lalu rukuk dan sujudku mendahuluinya. Mengapa? Karena lantaran aku memiliki ilmu, aku memiliki nilai yang mengharuskanku untuk tidak mendahului gerakannya, untuk tetap tunduk mengikuti gerakannya hingga usai sholatku dan tentu saja meluruskan jika sang imam lupa, itupun dengan cara yang semestinya.

Atau ketika aku sadar bahwa seperangkat aturan dalam kampus ini merupakan sebuah hegemoni kampus kepada mahasiswanya, tidak lantas membuatku datang ke kampus dengan menggunakan celana pendek dan kaus oblong atau tidak masuk kuliah sama sekali sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap hegemoni kampus kepada mahasiswanya, atau mungkin menyalahkan pihak kampus yang melanggar hak asasi mahasiswanya untuk berbusana, karena itu akan menghancurkan diriku sendiri. Aku memiliki cara yang lebih elegan ketika tidak suka dikekang untuk selalu berangkat kuliah, dengan memanfaatkan jatah tidak masuk 20% mungkin. Mengapa? Karena nilaiku mengatakan segala aturan itu baik. Mengapa? Karena penilaian itu pasti tidak keluar dari siapa dan mendapatkan apa. Karena diriku sadar bahwa aku dan kawan-kawan yang lain mendapatkan kebermanfaatan yang jauh lebih banyak dari pada kerugian dari aturan itu.
Teringat sebuah ungkapan indah yang kudapat sore itu dari seorang bijak lain dari seorang guru, “Jika ilmu itu sudah kau miliki, kemudian kepada siapa ilmu itu akan diabdikan?”. Yap, ketika ilmu itu sudah terkumpul, nilai itu sudah ada, lalu kepada siapa ilmu itu akan diabdikan?
Itulah mungkin yang disebut ilmu itu tidak bebas nilai, karena pada akhirnya ilmu itu akan membentuk nilai yang mampu menuntunku untuk memandang baik buruknya sesuatu, untuk memandang hidup ini dengan lebih bijak lagi.


gambar

No comments:

Post a Comment

Alhamdulillah akhirnya inget password blog, semoga azzam buat nulis rutin di blog bukan hoax!