Namanya
juga anak kuliah, pasti tidak bisa dipisahkan dengan yang namanya tugas. Tugas
belajar. Belajar akademik, belajar organisasi, belajar nyari duit, belajar
pergerakan, dan tak ketinggalan belajar kehidupan. Karena banyak belajar
itulah, tidak sedikit anak kuliah merasa stres. Kadang terfikir, andai manusia
seperti hujan. Memulai hidupnya dari arakan awan menghitam pucat dengan mendung
khasnya. Mengambang berjalan berarak riang bersama kawan seperjuangan. Merasa
panas dingin tak karuan. Ditempa berhari-hari berbulan-bulan. Hingga kemudian
pada saatnya ia harus mendamai kenyataan, berpisah dengan awan lain dan
akhirnya dengan khusyuk menghempaskan dirinya kebawah. Layaknya manusia, suatu
saat ia akan menabrak tanah, menghujam batu
atau beragam bentuk karya cipta manusia yang kian hari makin layu. Bukan tanpa aral lintang yang menghadang, sesekali ia harus bertanding melawan angin. Yang berusaha sekuat tenaga memalingkan niatnya. Mengajaknya tetap membumbung tinggi diatas, melayang-layang tanpa arah dan tujuan yang jelas. Namun ia tak bergeming. Air tetap air, apapun yang terjadi, ia akan tetap mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Begitu khusyuk, begitu ikhlas. Entahlah, mungkin karena tidak ada yang ia pikirkan kecuali menjalankan tugasnya sebagai hujan. Iapun tak pernah berfikir tentang sanjung pujian yang dihadiahkan makhluk bernama manusia karena pengorbanannya membuahkan goresan tinta indah berwarna di langit mayapada. Pantulan semu yang selalu ditunggu. Sangat indah. Awan, hujan, air, masing-masing menjalankan perannya. Semuanya begitu khusyuk, begitu tunduk menjalankan titah yang mencipta. Harmonisasi yang sempurna. Andai itu manusia, kurasa akan lebih istimewa.
atau beragam bentuk karya cipta manusia yang kian hari makin layu. Bukan tanpa aral lintang yang menghadang, sesekali ia harus bertanding melawan angin. Yang berusaha sekuat tenaga memalingkan niatnya. Mengajaknya tetap membumbung tinggi diatas, melayang-layang tanpa arah dan tujuan yang jelas. Namun ia tak bergeming. Air tetap air, apapun yang terjadi, ia akan tetap mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Begitu khusyuk, begitu ikhlas. Entahlah, mungkin karena tidak ada yang ia pikirkan kecuali menjalankan tugasnya sebagai hujan. Iapun tak pernah berfikir tentang sanjung pujian yang dihadiahkan makhluk bernama manusia karena pengorbanannya membuahkan goresan tinta indah berwarna di langit mayapada. Pantulan semu yang selalu ditunggu. Sangat indah. Awan, hujan, air, masing-masing menjalankan perannya. Semuanya begitu khusyuk, begitu tunduk menjalankan titah yang mencipta. Harmonisasi yang sempurna. Andai itu manusia, kurasa akan lebih istimewa.
Teringat
akan firman indahnya, “Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput
dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang Diberikan-Nya
kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan
diri (Q.S. Al-Hadid ayat 23).” Seorang muslim tak perlu bersedih hati pada apa
yang terjadi padanya. Tak peduli seberapa banyak cobaan yang diuji Sang
Pencipta pada hamba-Nya. Karena masalah itulah yang akan menjadi parameter dan
tolak ukur derajat seorang hamba. Kalau kata orang, “Makin tinggi pohon kelapa,
makin sering angin menyapa,” ternyata dalil ini berlaku. Seringkali kita
berfikir bahwa kitalah orang paling malang sedunia. Berbagai masalah, cobaan,
tekanan, dan segala macamnya itulah yang seringkali membuat seseorang stres dan
pada akhirnya putus asa. Namun sadar atau tidak, itu merupakan sebuah ujian
kelulusan yang diberikan Sang Pencipta. Layaknya ujian, manusia belum akan naik
satu tingkatan jika ia belum mampu melewati ujian tersebut. Allah swt
berfirman, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar
gembira pada orang-orang yang sabar (Q.S. Al-Baqarah ayat 155).”
Upaya
pertama ketika kita terjangkit penyakit bernama stres adalah dengan mencari
penyebab stres tersebut. Cari persoalan apa yang membuat kita merasa
benar-benar merasa tertekan. Coba dipikirkan lagi, apakah masalah itu berasal
dari diri sendiri atau berasal dari orang lain. Kemudian berikan mindset dalam pikiran kita, bahwa
masalah merupakan suatu parameter ujian ketaqwaan. Tidak bisa melewatinya,
berarti tidak lulus. Dan Allah akan terus menguji sampai sang hamba benar-benar
bisa melewati. Selanjutnya, jangan berfikir bahwa kita adalah orang yang paling
malang sedunia. Masih banyak saudara-saudara kita diluar sana yang lebih
menderita. Sesekali tengoklah saudara kita dikolong jembatan atau sesekali
perhatikan anak-anak kecil yang menyapa kita dengan senyum manisnya saat
menengadah tangan meminta belas kasihan. Tidakkah kita lebih beruntung dari
mereka? Selanjutnya bersyukurlah, bersyukur atas segala yang telah diberikan
Sang Pencipta kepada kita. Bersyukur karena masih diberikan kesempatan menghela
napas lega saat tak sedikit orang harus mengeluarkan uang berjuta-juta hanya
untuk merasa indahnya udara. Bersyukur karena Sang Pencipta, Allah swt, masih
sudi memperhatikan setitik noktah amat sangat kecil di alam jagad raya.
Kemudian cobalah sesekali berkata dengan anggunnya berkata, “Wahai masalah yang
kecil, aku mempunyai Tuhan yang Maha Besar”.
Satu
lagi, siapkan hati sejernih aquades, sedalam samudera, seluas jagad raya,
karena secangkir air garam akan terasa asin jika diminum sendirian. Beda halnya
jika air garam itu kita campur dengan air danau, akan terasa tawar bukan?
Masalah sebesar apapun tak akan berasa saat yang ditujunya adalah hati yang
lapang.
Jika
bicara tentang jurus, matematika sudah bukan jamannya. Manusia yang baik tidak
mengenal 1-1=0, namun 1-1=2. Karena
semakin banyak kita membagi dan memberi, maka semakin banyak kita mendapatkan.
Itulah yang dimaksud hati yang jernih. Tak mengharap balasan apapun kecuali
pada Sang Maha Pemberi Balasan. Karena pengharapan kepada sesama hamba akan
sia-sia. Dan jika pengharapan itu sia-sia, maka yang akan terjadi adalah
kekecewaan, yang bisa menjadi penyebab stres. Maka pegang teguhlah prinsip
seorang petinju, yang memberi sebanyak-banyaknya, tanpa mengharap balasan.
Karena pada hakikatnya sebaik-baik manusia adalah manusia yang memberi
kebermanfaatan bagi sesama.
Dan
yang terakhir, jangan pernah lupa untuk selalu mengingat-Nya. Dalam firman
indahnya, di surat Ar-Ra’d ayat 28, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat
Allah hati menjadi tentram.”
No comments:
Post a Comment