“Salsa, Suryo
ngelaporin kamu ke BP. Cepetan kamu foto. Kayanya bentar lagi kamu dipanggil ke
BP.” Arin meneriakiku dari luar.
Wajahku pucat. Tanganku
dingin. Tidak cukupkah kejadian memalukan tadi? Ini kali pertama aku dipermalukan
sekaligus disakiti. Perih.
“Iya Rin, makasih
infonya,” jawabku singkat. Rina segera meluncur pergi, mencari informasi lagi.
“Salsa, kita ngedukung
kamu kok,” Lia menepuk bahuku. Aku hanya mengangguk lemas.
Segera kutanggalkan
jilbab putihku. Menyisir beberapa helai rambut kemudian menaburkan sedikit
bedak putih di wajah. Ah, betapa bodohnya, bedak itu tak akan mempan
menyembunyikan wajah pucatku.
“Ayo Salsa,” Lia
membetulkan kerah bajuku.
Sebentar saja aku
berkaca dan kemudian memandang sekeliling laboratorium biologi. Dari dalam sini
bisa kulihat sekumpulan orang berkumpul di depan ruangan ini.
“Jpret..jpret..” cukup
dua kali sang tukang foto mengambil fotoku. Foto yang akan kupakai seumur
hidup. Foto ijazah. Segera saja aku memasang kembali jilbabku, merapikannya
seperti semula.
“Tenangin diri kamu
dulu Sa. Tadi aku dapet surat panggilan dari BP, kamu dipanggil sekarang. Tapi
kalau kamu belum siap jangan maksain diri. Ini minum dulu,” Arin yang baru
datang menyerahkan segelas air mineral dingin.
“Makasih Rin, mending
sekarang aja biar semuanya langsung beres.” Aku minum sebentar dan langsung
meluncur ke ruang BP ditemani kedua sahabatku. Di luar, seperti yang kuluhat
tadi, ada sekelompok orang berkumpul. Saat aku lewat, mereka memandangiku dalam
diam. Entahlah, seperti pandangan iba, kasihan, atau apalah itu. Perasaanku lengkap
seperti terdakwa yang akan diadili.
“Salsa, kami dukung
kamu kok. Semangat yaa. Kita semua juga tahu si Suryo itu orang macam apa”
Saras, teman sekelasku, salah satu dari mereka angkat bicara. Entahlah, kalimat
itu sedikit membuat hatiku tenang.
Sepanjang perjalanan,
aku terus berpikir. Kenapa ini harus terjadi? Kenapa tiba-tiba tadi aku menjadi
sok pahlawan begini? Kenapa aku harus menaruh kertas itu di luar? Kenapa?
Kenapa? Andai aku bisa lebih sopan. Beberapa orang terlihat memandangku
sekilas, hendak mengatakan sesuatu. Lagi, mulut mereka terkunci rapat, mata
mereka memandangiku lagi seakan ingin mengatakan sesuatu. Aku jadi teringat kejadian
dua minggu yang lalu, saat aku, Lila dan Rhea ke ruang kepala sekolah untuk
minta keringanan agar bisa memakai jilbab di foto ijazah.
“Mohon maaf Bapak, tapi
di SMP Negeri saja boleh, kenapa di Tsanawiyah yang sekolah agama tidak boleh?
Kalau perlu saya mau jika harus membuat surat pernyataan..” Nihil, sampai
mulutku berbuihpun, kami harus tetap foto ijazah tanpa berjilbab.
Jantungku masih
berdetak hebat mengalahkan detik-detik jarum jam yang melingkar dipergelangan
tangan saat aku berada di depan ruang BP.
“Silahkan masuk, yang
nemenin satu aja ya?” Bu Indah, Guru BP menyambutku dengan hangat. Aku dan Lia
masuk, ternyata sudah ada Mas Suryo yang menunggu.
“Tadi saya sudah
mendengar semuanya dari Mas Suryo, kamu tahu kan peraturan di sekolah. Coba kamu
baca ini...” Bu Indah menyerahkan buku warna biru berisi segala peraturan
sekolah dan sanksinya. Beliau membuka tepat pada halaman sanksi dan
pelanggaran. Aku tidak mengerti.
Beliau melanjutkan,”
karena kamu tidak menghormati guru/karyawan dan kamu merusak fasilitas sekolah,
maka kamu kena poin 30 di tambah 40 jadi 70 poin. Dan sanksinya adalah surat panggilan
untuk orang tua.”
“Maksudnya apa Bu? Fasilitas
apa? Kertas? Yang seharusnya dihukum itu..” aku tidak percaya, sengaja
menggantung kalimat dan memandang orang disampingku yang sedang tersenyum lebar.
Mas Suryo, laki-laki yang duduk di sampingku ini sudah lima tahun bekerja di
sini. Biasanya bekerja membantu karyawan-karyawan atau guru di sini. Beliau
berumur sekitar 30an. Aku sering mendengar cerita dari teman-teman bahwa beliau
sering sekali menggoda siswi di sini. Seperti tadi saat kami akan foto ijazah.
Saat para siswi dandan dan bersiap foto tanpa jilbab, beliau malah santai
berdiri di dalam, mengoleskan lem plastik di kertas yang betuliskan ‘harap
lepas alas kaki’ sambil memandangi kami. Merasa tidak nyaman, teman-temanku
yang sedang berdandanpun berteriak kecil-kecil ‘hei, jangan masuk, di luar
aja’. Namun karena mungkin beliau tidak mendengar(kan), aku yang belum melepas
jilbab mengambil inisiatif untuk maju melangkah, mengambil kertas itu, dan
meletakkannya di atas kramik di luar sambil berkata, “Mas, di luar aja ya nempelnya.”
Namun ternyata beliau
tidak terima. Tak pernah terpikirkan sebelumnya, Mas Suryo tiba-tiba maju dan
memukul pundakku dan melontarkan sejurus tendangan kaki, sekali-dua kali. Aku syok mendadak. Tak berhenti sampai di
situ. Beliau juga berteriak.
“Heeehhh kamu... ngga
sopan sama karyawan. Kamu jangan sok suci sok alim ya!! Memangnya kamu siapa?
Saya disini hanya mengerjakan tugas.” Sakit, bahuku sakit, linu. Tapi hatiku
lebih sakit lagi. Cobaan apa ini? Mulutku diam seribu bahasa, tak mempu
mengucapkan sepatah katapun. Begitu juga seisi ruangan tiba-tiba senyap.
Seluruh teman-temanku terpana tak percaya pada apa yang mereka lihat barusan.
Sekejap Mas Suryo menghilang keluar ruangan, menghamburkan semua kertas yang
masih tergenggam si tangannya.
“Bu, di sini yang
harusnya jadi korban itu saya. Saya yang..”
“Kamu tadi membuang
kertas tulisan itu kan?” Bu Indah memotong kalimatku. Aku menelungkupkan kedua
tanganku di wajah, pasrah.
“Oke, ini surat
panggilan untuk kedua orang tua kamu.”
“Tapi Bu...” Lia tidak
terima. Aku mengambil-alih keadaan.
“Iya Bu, nanti akan
saya sampaikan. Mas Suryo, saya minta maaf atas kejadian tadi. Saya permisi Bu,
Mas.” Tak ingin menambah perdebatan, akupun segera keluar. Aku menghela nafas
panjang.
“Kadang salah memang harus
ditapak, karena diri perlu belajar, dan kebenaran tak perlu semua tahu, karena
nyata biarlah mekar sendiri. Semoga sabar dan ikhlas selalu terpaut dengan hatiku,”
gumamku dalam hati.
“Bila ingin hidup ini tenang, tak usah hiraukan
ada atau tidak ada orang yang melihat atau menilai amal-amal kita. Wakafaa
billahi syahidaa. Cukup Allah yang menjadi saksi.” (QS. Annisa: 79).Gambar diambil dari sini
Assalamualaikum... Mohon maaf saya Diah yang pernah menggambar wanita berhijab diatas, yang anda gunakan dalam artikel.
ReplyDeleteSaya memohon dengan sangat bisa tolong gambar ini dihapus dan jangan pernah dipergunakan lagi, karena saya sudah bertaubat dari menggambar makhluk, dan ingin memusnahkan semua karya saya.
Jazaakumullahu khairan
Semoga Allah memberikan keberkahan untuk hidup anda dan keluarga. Baarakallahu fiikum